JURNAL LENGKAP - JAK VOLUME 4 NO 1 - Maret 2014
Abstract
AGRIBISNIS KERAKYATAN; SEBUAH JALAN PEMBERDAYAAN DAN PERTUMBUHAN YANG BERKEADILAN
Tahun 2014 merupakan tahun dimana terpaan krisis ekonomi terus mengancam Indonesia. Pemerintah dengan berbagai paket kebijakan telah berusaha mengantisipasi krisis ini. Namun ada satu hal mendasar lainnya, yang sepertinya terlupa kita perhatikan, yaitu ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Data menunjukkan ketimpangan ekonomi Indonesia terus berada dalam situasi yang memburuk. Pada tahun 2005 Indeks Gini Ratio Indonesia mencapai angka 0,36 dan pada tahun 2013 angkanya berubah menjadi 0,41, yang berarti bahwa kesenjangan ekonomi semakin melebar. Pikety (2014) telah mengingatkan kepada kita bahwa ketimpangan ekonomi bukanlah sesuatu yang natural, ketimpangan dihasilkan secara sosial oleh dinamika masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini intervensi akademik dan politik menjadi penting.
Agribisnis kerakyatan yang mencuat sejak tahun 2008 di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Andalas adalah idealisme akademis yang berusaha untuk melakukan intervensi akademik dalam upaya kita mengatasi ketimpangan itu. Martius (2008) menyebut, agribisnis kerakyatan sebagai suatu ekonomi yang bermuatan etika; bahwa kesejahteraan rakyat merupakan tujuan dan keutamaan agribisnis. Setiap nilai kesejahteraan yang dihasilkan dalam kegiatan Agribisnis tidak boleh meninggalkan petani sebagai pelaku utama.
Agribisnis sebagai sistem yang bekerja dari hulu sampai hilir dengan orientasi kerakyatannya akan sangat bisa berperan penting dalam mengatasi ketimpangan tersebut. Argumennya adalah, karakteristik struktural pertanian Indonesia sebetulnya masih dihuni oleh petani rakyat skala kecil sampai menengah. Data Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan, bahwa masing-masing subsektor pertanian memiliki struktur usaha yang berbeda dan dikerjakan oleh petani rakyat skala kecil sampai menengah. Tanaman bahan pangan, diusahakan hampir seluruhnya oleh petani perorangan berskala kecil. Peternakan sapi, hampir 70 persen produksi dihasilkan oleh peternakan rakyat dengan pola usaha yang tidak bersifat komersial. Begitu juga pada peternakan unggas, 80 persen produksi diusahakan bisnis skala menengah besar tetapi 70 persen penjualan ecerannya didominasi oleh pasar rakyat dan pengecer kecil. Pengusahaan kakao, kopi, atau kelapa lebih dari 90 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat skala kecil (BPS,2013). Apa yang bisa kita lakukan dengan struktur pertanian seperti itu? Jawabannya adalah dukungan kebijakan yang berkarakter kerakyatan. Pada saat sekarang, dukungan langsung negara terhadap petani masih berupa subsidi pupuk dan bibit, dengan pola pada subsidi harga input. Padahal, hakekat subsidi seharusnya adalah pada penerima, yaitu petani sebagai pelaku utama.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah, dari kegiatan hulu sampai hilir dalam rangkaian subsistem agribisnis tersebut diperlukan dukungan inovasi dan teknologi yang tepat agar kegiatan agribisnis petani menjadi lebih efektif, efisien dan menguntungkan. Untuk itu pemberdayaan yang berkarakter kerakyatan menjadi kata kunci yang penting. Dari pembacaan terhadap struktur pertanian kita, aktivitas pemberdayaan, tidak boleh diserahkan kepada pasar atau dikomersialisasi sebagaimana gagasan yang didengungkan oleh sebagian orang. Negara harus terus hadir ditengah rakyat, dengan begitu ketimpangan akan dapat diatasi. Agribisnis kerakyatan adalah manifestasi dari hadirnya negara. Piketty mengingatkan kita dalam bukunya Capital in the twenty first century, bahwa ketimpangan dapat diatasi ketika orientasi negara kesejahteraan kembali dimunculkan di abad 21. Piketty berargumen mengenai pentingnya pembangunan sistemik (sekaligus historis) yang dilakukan oleh negara terhadap sektor-sektor sosial, seperti pendidikan masyarakat, kesehatan, jaminan sosial, kompensasi pengangguran dan dukungan pendapatan bagi masyarakat miskin oleh negara.
Tulisan-tulisan yang diterbitkan Jurnal Agribinis Kerakyatan pada volume ini memperlihatkan beberapa hal penting kepada pembaca, mulai dari pentingnya keberpihakan dan dukungan negara terhadap usaha pertanian rakyat, pentingnya aspek pemberdayaan sampai kepada praktek agribisnis yang bersifat rekayasa logistik yang belum bisa kita tinggalkan sama sekali. Tulisan Syofyan Fairuzi dkk, menyoroti praktek pembangunan pertanian di Kabupaten Pasaman yang disimpulkannya sebagai praktek yang gagal, hal tersebut disebabkan oleh pendekatan kebijakan yang tidak tepat, tidak holistik serta kegiatan pendampingan atau pemberdayaan yang dilakukan tidak secara berkelanjutan.
Tulisan Yusnimar Tita dkk, kembali memperlihatkan kepada kita pentingnya aspek pemberdayaan dan kehadiran negara karena masih lemahnya kapasitas petani. Tulisan tersebut menyoroti jiwa kewirausahaan petani kakao di Kota Sawahlunto. Yusnimar Tita dkk, menarik kesimpulan bahwa: sebagian besar petani kakao di Kota Sawahlunto masih memiliki jiwa kewirausahaan yang rendah hingga sedang. Temuan yang menarik adalah, faktor pendidikan formal tenyata tidak berpengaruh pada penumbuhan jiwa kewirausahaan. Faktor yang berpengaruh adalah pendidikan non formal (Baca: pemberdayaan) memiliki pengaruh yang nyata terhadap penumbuhan jiwa kewirausahaan dikalangan petani Kakao.
Yusmarni dkk, menyoroti persoalan perubahan iklim dan kemampuan rumahtangga petani dalam pemenuhan kebutuhan pangan di Kabupaten Tanah Datar. Hasil penelitian Yusmarni dkk menunjukkan secara umum, kekeringan yang terjadi di Nagari Simawang tidak berdampak secara nyata terhadap ketersediaan dan ketahanan pangan rumahtangga petani namun telah terjadi penurunan pendapatan petani setelah terjadinya kekeringan tersebut.
Tiga tulisan lainnya adalah: pertama, yang ditulis oleh Afrianingsih Putri dkk, tentang pengaruh kebijakan pajak ekspor terhadap variabel-variabel perdagangan biji kako Indonesia. Kedua, tulisan yang ditulis oleh Yudi Rahmat Pertama dkk, yang menyoroti tentang aplikasi metode AHP dalam menganalisis indikator kinerja rantai pasok tandan buah segar kelapa sawit. Tulisan yang terakhir adalah yang ditulis oleh Dwi Evaliza, yang menyoroti mengenai analisis finansial tanaman Aren di Kabupaten Tanah Datar. Tulisan-tulisan tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa praktek agribisnis yang bersifat rekayasa logistik terus dibutuhkan dalam rangka memperbaiki kesejahteraan petani. Demikian pengantar, dan selamat membaca.
Rafnel Azhari dan Endry Martius
Full Text:
PDF (Indonesian)References
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Laporan Sensus Pertanian 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Martius, Endry. 2008. Harapan Agribisnis Kerakyatan. Padang: Jurnal Agribisnis Kerakyatan
Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Piketty, Thomas. 2014. Capital in the Twenty First Century. US: The Belknap Press of Harvard University Prees
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2015 Jurnal Agribisnis Kerakyatan